Stoicisme Sindiran Tertulus Buat si Haus Validasi

haus validasi

Modernis.co, Malang – Si Haus Validasi, orang yang memilih jadi sampul ketimbang isi pembahasan yang mendalam. Bakal ngelakuin semua hal buat mencitrakan dirinya. Dibarengi dengan serangkaian cerita kebaikan dan kebanggaan diri sendiri. Intinya, biar semua orang tau kalau dia itu “like good people”.

Koar-koar lah kesana-kesini lewat cara konvensional. Tiap ketemu orang topiknya selalu ngarah ke pencapaian-pencapaian diri. Mulai ngebandingin hal yang telah dia lakukan. Dia pikir semua orang di depannya tidak bisa lebih darinya. Mungkin orang tipe ini gak tau kalo masih banyak orang yang lebih baik dari dirinya. Iya kan?

Apalagi di jaman yang semua-semua harus diposting. Banyak orang pilih jalur digital buat cari atensi orang lain ke kehidupannya. Apapun capaian, sekecil apapun, bahkan yang gak bawa manfaat ke orang lain harus banget ya dipost? harus ada yang tau, yang komentar, ngelike, pengen banget gitu ya ada orang yang bakal bilang ke kita “wah kamu hebat banget”. 

Fenomena gini nih yang bikin kita mikir, emang buat apa sih? bukannya jatohnya bisa disebut sombong yak. Kalau soal ibadah atau amal shaleh, jatohnya malah riya gak sih? Wah parah juga! Jangan-jangan kondisi seperti ini muncul karena gangguan mental tertentu ya?

Hidup Bukan Untuk Cari Validasi

Dewasa ini kita menyebutnya sebagai Haus Validasi. Orang-orang yang memiliki karakter ini mungkin akan terlihat bagus di orang lain yang belum ngeh. Tapi bagi YTTA mah bakal dicap “hadeh dia lagi dia lagi”. Meski di permukaan baik, orang seperti ini cenderung memiliki cerminan krisis internal yang mengkhawatirkan.

Coba bayangin, bagaimana bisa seseorang membangun kepercayaan diri dengan bergantung pada reaksi orang lain. Ini tuh sama kayak kamu menggantungkan temenmu yang sering bilang otw tapi masih mandi tapi pengen cepet sampai ke tempat tujuan dengan cara nebeng. Tiap hari tuh. Kalau gitu terus kamu bakal stag di tempat. Gak gerak!

Mereka yang haus validasi ini membangun seluruh rasa percaya diri di atas fondasi yang rapuh, yakni opini orang lain. Baiklah, yuk deh sedikit kita sindir mereka yang hidupnya selalu sibuk nyari validasi orang lain. Tiap hari waktunya habis nyaper (nyari perhatian).

Mereka berusaha keras menampilkan hidup yang lit, kayak maksain liburan mewah, outfit branded, pencapaian yang spektakuler. Namun, saat likes tidak sesuai ekspektasi atau muncul satu komentar negatif, mood mereka langsung drop total, bahkan bisa overthinking semalaman.

Mereka telah menjadikan penghargaan eksternal (external goods) sebagai tujuan utama. Padahal itu semua sebenarnya tidak akan bertahan lama, bahkan cuma ilusi aja. Kayak yang dibilang oleh Filsuf Stoik seperti Epictetus dan Marcus Aurelius sejak dulu tentang jebakan ini. 

Mereka mengajarkan bahwa kekayaan, popularitas, status sosial, bahkan pujian dari orang lain, adalah hal-hal yang tidak berada dalam kendali kita (Irvine, 2018). Namun, si haus validasi ini justru menyerahkan kendali atas emosi dan kebahagiaan mereka kepada reaksi orang lain. Mereka seperti boneka yang digerakkan oleh respon orang lain.  

Saat tali itu ditarik (dipuji), mereka senang. Saat tali itu dihentakkan (dikritik), mereka langsung ambyar. Apalagi pas pancingan validasi mereka tidak ditanggapi sama sekali. Wah bisa lemes tuh seharian gak ada semangat. Wkwk. Hidup yang tergantung pada hal yang tidak pasti jelas merupakan resep menuju kegelisahan abadi. 

Dikotomi Kendali, Seni Cuek Ala Stoik

Di sinilah Stoicisme menawarkan solusi glow-up yang sejati, yaitu konsep Dikotomi Kendali (Dichotomy of Control). Filsafat ini membagi dunia menjadi dua kategori besar, hal-hal yang berada di bawah kendali kita dan hal-hal yang di luar kendali kita. 

Apa yang berada di bawah kendali kita? Itu adalah pikiran, penilaian, sikap, dan tindakan kita ke sendiri maupun orang lain atau situasi tertentu. Sementara itu, hal-hal yang di luar kendali kita mencakup cuaca, takdir, dan, yang paling penting di era ini, opini dan perlakuan orang lain terhadap kita (Epictetus, Enchiridion). Reaksi orang lain pun gak bisa kita buat-buat ya, gak bisa diharapin.

Orang yang haus validasi, artinya lebih fokus ke hal yang di luar kendali. Namun ini berat broh, dia sibuk memikirkan “Apa kata mereka?” daripada “Apakah saya sudah bertindak sesuai nilai-nilai saya?”. Sebaliknya, kita perlu belajar nih dikit-dikit jadi seorang Stoik yang lebih enjoy aja ke hal-hal di luar kendalinya. 

Stoik tuh sadar banget kalau di dunia ini ada banyak hal yang di luar kendali kita. Bahkan, banyak hal kurang baik terjadi justru setelah kita melakukan kebaikan. Stoik ngeh kok kalau kadang harapan gak sesuai kenyataan gitu kan. Kalau kadang hidup ini juga suka bercanda. 

Paham stoicisme ini bikin orang gak buang-buang energi buat memikirkan judgment orang lain. Kenapa? Karena dia sadar bahwa effort mengejar pujian itu punya vibes yang toxic dan hasilnya tidak bisa dijamin atau gak ada kepastiannya. 

Vibes Hidup Sesuai Seberapa Bijak Kita

Lalu, di mana letak kebahagiaan yang sejati menurut Stoik? Jawabannya ada pada Kebajikan (Virtue). Stoik percaya kalo kebahagiaan cuma bisa dicapai melalui empat kebajikan utama: Kebijaksanaan, Keadilan, Keberanian, dan Pengendalian Diri (Aurelius, Meditations).

Jadi, fokus kita seharusnya bukan pada membuat orang lain berkata, “Keren!” atau gak perlu ngebet dapat perhatian full dari orang lain. Mereka juga punya hidupnya sendiri kan ya. Tapi fokus kita lebih ke memastikan tindakan kita sendiri sudah bijaksana, bermanfaat, gak ngerugiin orang, plus terkendali.

Berhenti nyari validasi dan mulai fokus ke apa kita udah bisa kendalikan di dalam diri sendiri. Macet di jalan bukan kita yang bikin, tapi kita bisa kendalikan diri buat gak klakson-klakson gak jelas. Selanjutnya, ketika dompet ketinggalan itu ya gak sengaja, tapi kita bisa kendaliin diri buat pake uang online dulu kan (bukan judol yak). Kita bisa kendaliin diri untuk melakukan sesuatu ke orang lain, tapi reaksi mereka? yak gak bisa kendalikan kan?

Oiya, kalau di dunia digital gimana? yaudah deh mau posting apapun sah-sah aja. Itu ada di kendali diri. Sedangkan jumlah penonton, like, komentar, atau followers itu yang gak bisa dikendaliin. Jadi mari kita jujur pada diri sendiri dan mulai mencintai cara yang bijaksana.

Ajakan Mencintai Diri

Jiwa-jiwa yang haus validasi dan sering terpuruk atau tidak bergairah pas reaksi orang lain yang gak sesuai harapan, selamat, kamu udah baca tulisan ini. Sebuah sindiran paling tulus yang punya nilai sebagai ajakan positif. 

Yuk berhenti ngebangun karakter palsu kita, stop bergantung ke respon orang lain! Ubah fokus dari pembuktian ke perbaikan diri. Gak ada yang perlu dibuktikan kepada orang lain. Nilai kita tidak ditentukan oleh seberapa terkenal kita, tapi seberapa baik kita menjalani hidup sesuai nalar dan kebajikan.

Mari kita level up dan pilih untuk hidup sebagai Stoik yang tenang di tengah chaos dunia. Fokus aje ke apa yang bisa kita kendalikan biar jadi manusia yang stay setrong, otentik, dan mungkin staycu juga. Itulah selflove yang nggak kaleng-kaleng bruh.

Penulis : Imam Fahrudin (Guru MI Muhammadiyah Manarul Islam)

editor
editor

salam hangat

Leave a Comment